Senin, 19 Desember 2011

Dampak Asian China Free Trade Agreement (AC-FTA) Bagi Perdagangan Non Migas Indonesia


Menurut Firman Mutakin[1], dalam teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara tersebut. Namun dalam faktanya perdagangan bebas dapat juga menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah eksploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri lokal, keamanan jadi lebih rendah dan sebagainya.
            Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan AC-FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Menurut Firman,  dampak positif dari perjanjian AC-FTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif.
            Begitu pulalah yang terjadi pada perdagangan non migas Indonesia dan China. Karena produk non migas adalah produk yang sangat bersaing saat diimplementasikannya AC-FTA. Dengan berlakunya AC-FTA berbagai pengamat memprediksi bahwa produk-produk yang ekspornya akan meningkat adalah kelompok produk pertanian, antara lain kelapa sawit, karet dan kopi. Menurut data dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, Indonesia mengalami keuntungan dengan meningkatnya nilai ekspor produk-produk berikut:
 
Dari kesepuluh kelompok produk tersebut yang nilai ekspornya paling tinggi adalah kelompok produk lemak dan minyak hewan/nabati dan produk disosiasinya; lemak olahan yang dapat dimakan; malam hewan/malam nabati (HS 15). Kelompok produk lemak (HS 15) terdiri dari beberapa sub kelompok, sub kelompok yang paling menonjol nilai ekspornya adalah minyak mentah dari minyak kelapa sawit & fraksinya (HS 151110), minyak mentah lainnya (HS 151190) dan minyak mentah dari kernel kelapa sawit & fraksinya (HS 151321).
            Kemudian produk yang diprediksi akan terkena dampak negatif adalah produk yang pasarnya di dalam negeri, antara lain garmen, elektronik, sektor makanan, industri baja/besi, dan produk hortikultura. Berikut adalah nilai impor Indonesia dari Cina berdasarkan data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan:
 
            Dari 10 kelompok tersebut, produk mesin, peralatan mekanik (HS 84) dan mesin, perlengkapan elektrik serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara; perekam dan pereproduksi gambar dan suara televisi; dan bagian serta asesoris dari barang tersebut (HS 85) ternyata paling tinggi nilainya dibandingkan dengan kelompok produk lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka industri dalam negeri yang bakal paling tersaingi oleh produk-produk dari China adalah kelompok kedua produk tersebut karena selain nilai impornya paling besar, kecenderungan peningkatan impornyapun tinggi masing-masing sebesar 51,4% dan 64,4% . Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China dimasa yang akan datang berpotensi menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk yang sejenis.
             Kekhawatiran terhadap membanjirnya produk dari China pasca implementasi AC-FTA timbul karena produk China selain dikenal murah harganya juga sudah banyak beredar di Indonesia sebelum implementasi AC-FTA. Pendapat tentang dampak negatif dari AC-FTA juga telah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak dan arus menentang kesepakatan AC-FTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku usaha. Kekhawatiran ini terbukti dari neraca perdagangan non migas antara Indonesia dan Cina yang tidak seimbang dan cenderung lebih memberikan keuntungan terhadap Cina. Berikut adalah neraca perdagangan non migas Indonesia dan Cina: 
 
Dari grafik di atas[2], selama periode 2004 neraca perdagangan Indonesia China untuk produk non migas selalu surplus bagi Indonesia, namun sejak tahun 2005 selalu defisit bagi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produk non migas dari China memiliki keunggulan di pasar Indonesia, hal tersebut mengkhawatirkan bagi kalangan pengusaha karena produk China akan membanjiri pasar di Indonesia dengan harga yang lebih murah bersaing dengan produk dalam negeri, padahal sebelum diberlakukan AC-FTA pun produk-produk China sudah menjadi saingan berat bagi para pengusaha dalam negeri, apalagi dengan adanya kebijakan AC-FTA yang membebaskan biaya bea masuk hingga 0%.
Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa dengan diimplementasikannya AC-FTA tersebut lebih memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi perdagangan non migas di Indonesia. Hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membangkitkan kembali kondisi perdagangan non migas dalam negeri adalah pertama, perbaikan infrakstruktur seperti perbaikan kondisi jalan, pelabuhan dan listrik. Kedua, memberikan akses yang mudah bagi para pengusaha mulai untuk menjalankan usaha mereka, mulai dari perijinan, pajak, dll. Ketiga, memperbaiki sistem Standar Nasional Indonesia untuk memperbaiki mutu produk dalam negeri, dan keempat adalah peningkatan produksi untuk meningkatkan ekspor ke China agar Indonesia memperoleh banyak keuntungan. Dan masih banyak lagi usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah untuk membangkitkan perdagangan non migas Indonesia, karena Indonesia pun dapat memanfaatkan momen implementasi AC-FTA ini untuk memberdayakan ekonomi Indonesia terutama terhadap kemajuan Industri besar dalam negeri dan UMKM yang ada di Indonesia.




[2] Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar. Dampak Penerapan ACFTA terhadap Perdagangan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar