Menurut Firman Mutakin[1],
dalam teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa
hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara tersebut. Namun
dalam faktanya perdagangan bebas dapat juga menimbulkan dampak negatif,
diantaranya adalah eksploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri
lokal, keamanan jadi lebih rendah dan sebagainya.
Terkait
dengan perdagangan bebas, kesepakatan AC-FTA juga dapat menimbulkan dampak baik
positif maupun negatif. Menurut Firman, dampak positif dari perjanjian AC-FTA tersebut
akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara
dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis
dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat
daya saing yang relatif kurang kompetitif.
Begitu
pulalah yang terjadi pada perdagangan non migas Indonesia dan China. Karena
produk non migas adalah produk yang sangat bersaing saat diimplementasikannya
AC-FTA. Dengan berlakunya AC-FTA berbagai pengamat memprediksi bahwa
produk-produk yang ekspornya akan meningkat adalah kelompok produk pertanian,
antara lain kelapa sawit, karet dan kopi. Menurut data dari Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan, Indonesia mengalami keuntungan dengan
meningkatnya nilai ekspor produk-produk berikut:
Dari kesepuluh kelompok produk
tersebut yang nilai ekspornya paling tinggi adalah kelompok produk lemak dan
minyak hewan/nabati dan produk disosiasinya; lemak olahan yang dapat dimakan;
malam hewan/malam nabati (HS 15). Kelompok produk lemak (HS 15) terdiri dari
beberapa sub kelompok, sub kelompok yang paling menonjol nilai ekspornya adalah
minyak mentah dari minyak kelapa sawit & fraksinya (HS 151110), minyak
mentah lainnya (HS 151190) dan minyak mentah dari kernel kelapa sawit &
fraksinya (HS 151321).
Kemudian
produk yang diprediksi akan terkena dampak negatif adalah produk yang pasarnya
di dalam negeri, antara lain garmen, elektronik, sektor makanan, industri
baja/besi, dan produk hortikultura. Berikut adalah nilai impor Indonesia dari
Cina berdasarkan data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan:
Dari
10 kelompok tersebut, produk mesin, peralatan mekanik (HS 84) dan mesin,
perlengkapan elektrik serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara; perekam
dan pereproduksi gambar dan suara televisi; dan bagian serta asesoris dari
barang tersebut (HS 85) ternyata paling tinggi nilainya dibandingkan dengan
kelompok produk lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka industri dalam
negeri yang bakal paling tersaingi oleh produk-produk dari China adalah
kelompok kedua produk tersebut karena selain nilai impornya paling besar,
kecenderungan peningkatan impornyapun tinggi masing-masing sebesar 51,4% dan
64,4% . Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China dimasa yang akan datang
berpotensi menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk yang sejenis.
Kekhawatiran
terhadap membanjirnya produk dari China pasca implementasi AC-FTA timbul karena
produk China selain dikenal murah harganya juga sudah banyak beredar di
Indonesia sebelum implementasi AC-FTA. Pendapat tentang dampak negatif dari
AC-FTA juga telah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak dan arus menentang
kesepakatan AC-FTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku usaha.
Kekhawatiran ini terbukti dari neraca perdagangan non migas antara Indonesia
dan Cina yang tidak seimbang dan cenderung lebih memberikan keuntungan terhadap
Cina. Berikut adalah neraca perdagangan non migas Indonesia dan Cina:
Dari
grafik di atas[2],
selama periode 2004 neraca perdagangan Indonesia China untuk produk non migas
selalu surplus bagi Indonesia, namun sejak tahun 2005 selalu defisit bagi
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produk non migas dari China memiliki
keunggulan di pasar Indonesia, hal tersebut mengkhawatirkan bagi kalangan
pengusaha karena produk China akan membanjiri pasar di Indonesia dengan harga
yang lebih murah bersaing dengan produk dalam negeri, padahal sebelum
diberlakukan AC-FTA pun produk-produk China sudah menjadi saingan berat bagi
para pengusaha dalam negeri, apalagi dengan adanya kebijakan AC-FTA yang
membebaskan biaya bea masuk hingga 0%.
Dengan
demikian kita dapat mengetahui bahwa dengan diimplementasikannya AC-FTA
tersebut lebih memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi perdagangan non
migas di Indonesia. Hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membangkitkan
kembali kondisi perdagangan non migas dalam negeri adalah pertama, perbaikan
infrakstruktur seperti perbaikan kondisi jalan, pelabuhan dan listrik. Kedua,
memberikan akses yang mudah bagi para pengusaha mulai untuk menjalankan usaha
mereka, mulai dari perijinan, pajak, dll. Ketiga, memperbaiki sistem Standar
Nasional Indonesia untuk memperbaiki mutu produk dalam negeri, dan keempat
adalah peningkatan produksi untuk meningkatkan ekspor ke China agar Indonesia
memperoleh banyak keuntungan. Dan masih banyak lagi usaha-usaha yang dapat
dilakukan pemerintah untuk membangkitkan perdagangan non migas Indonesia,
karena Indonesia pun dapat memanfaatkan momen implementasi AC-FTA ini untuk
memberdayakan ekonomi Indonesia terutama terhadap kemajuan Industri besar dalam
negeri dan UMKM yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar