Rabu, 14 Desember 2011

Bertahan atas Serangan ACFTA


ACFTA atau ASEAN – China Free Trade Agreement adalah perjanjian perdagangan bebas internasional antara ASEAN dengan Cina. Dengan begitu apabila barang-barang Cina masuk ke ASEAN khususnya Indonesia tariff bea masuknya menjadi nol persen. Dengan tariff bea masuk nol persen maka produk-produk Cina akan membanjiri pasar-pasar di Indonesia menyaingi produk-produk lokal Indonesia. Perjanjian perdagangan bebas ACFTA telah dimulai per 1 Januari 2010 lalu. SBY memaparkan bahwa kebijakan perdagangan bebas merupakan kesepakatan internasional yang lahir sejak lama. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia tergabung dalam kerjasama baru yakni East Asia Economy Cooperation. Kesepakatan tersebut tidak muncul di tahun 2010 saja. SBY mencontohkan kesepakatan perdagangan bebas yang sudah dicanangkan di tingkat APEC sejak pertemuan di Bogor pada tahun 1994, proses berlanjut hingga menghasilkan berbagai kerjasama termasuk FTA. Karenanya, menurut SBY, proses kerjasama perdagangan bebas yang berlangsung sejak lama tak mungkin dihindari Indonesia.
            Saat ini Indonesia mengalami dilema dengan adanya ACFTA. Betapa tidak ACFTA melahirkan sisi positif dan sisi negatif untuk Indonesia. Sisi positif yang dapat kita terima adalah dengan adanya ACFTA, maka produk-produk Cina akan membanjiri pasaran di Indonesia bersaing dengan produk-produk lokal di Indonesia, seperti pakaian jadi, makanan (snack), mainan anak-anak, elaktronik, dll. Persaingan ini akan memicu produk-produk lokal untuk meningkatkan kualitas produk nasional lebih baik daripada produk-produk Cina yang mampu memproduksi barang berkualitas dengan harga miring. Namun, di Indonesia saat ini diperkirakan bahwa ACFTA akan berdampak negatif atau buruk bagi perekonomian Indonesia. Menurut pengamat ekomomi Faisal Basri, penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan industri nasional sebab tarif bea masuk barang-barang dari Cina ke ASEAN, khususnya Indonesia menjadi nol persen, kondisi itu, akan mengancam industri Indonesia karena produk Cina yang terkenal murah akan menjadi saingan terberat produk Indonesia. Hal ini didukung oleh ketidaksiapan Indonesia menghadapi perdagangan bebas karena memiliki daya saing yang rendah. Berdasarkan catatan International Institute for Management Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008, daya saing Indonesia merosot ke peringkat 52 dari 55 negara. Bahkan, versi World Economic Forum menyebutkan daya saing Indonesia berada diperingkat 54, lebih rendah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selain itu, ketidaksiapan Indonesia menghadapi ACFTA juga dipaparkan oleh Menteri Perindustrian M.S Hidayat. Ketidaksiapan itu dilihat dari merosotnya kinerja industri nasional. Hingga Juli 2009, nilai eksport industri tekstil sudah merosot sekitar US$ 520 juta. Begitu juga dengan Industri Besi dan Baja, Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia menyatakan sejak tahun 2000, ketika bea masuk masih diberlakukan, industri besi dan baja terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk import, defisit ini dipastikan membengkak jika bea masuk menjadi nol persen sesuai perjanjian ACFTA saat ini.
            Hal seperti inilah sehingga membuat perdagangan bebas dan pasar bebas internasional menimbulkan reaksi pro dan kontra diantara kalangan para pakar ekonomi dunia. Pro dan kontra tersebut dimunculkan dalam debat antara Waldan Bello, direktur eksekutif Focus on Global South, program kebijakan pembangunan di Bangkok, Thailand. Dan Jagdish Bhagwati, guru besar ilmu ekonomi Universitas Colombia, anggota senior Dewan Hubungan Luar Negeri dan penulis buku, Free Trade Today. Program tersebut difilmkan oleh Stanford University untuk program Uncommon Knowledge dan dipandu oleh penyelenggara acara tersebut, Peter Robinson. Acara itu mengudara lewat Public Broadcasting System di Amerika Serikat. Waldan Bello setuju dengan pernyataan ekonom pemenang hadiah nobel Joseph Stiglitz bahwa agenda liberalisasi perdagangan telah ditentukan oleh negara-negara Utara (Negara-negara kaya) atau lebih tepatnya untuk kepentingan-kepentingan khusus di Negara Utara. Akibatnya, Negara-negara industry maju memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dan dalam beberapa kasus Negara-negara terbelakang sebenarnya lebih buruk. Perdagangan bebas membuat Negara kaya semakin kaya dan Negara miskin membuat semakin miskin. Sedangkan Jagdish Bhagwati menyangkal pernyataan tersebut, ia menyatakan bahwa “pemenang Nobel pun bias salah sama sekali.” Jagdish Bhagwati menjelaskan, secara fundamental perdagangan bebas merupakan persoalan saling berbagi hasil dari proses pertukaran. Ia mengatakan, “jikalau saya memiliki kelebihan pasta gigi (odol) dan anda memiliki kelebihan sikat gigi dan kita saling bertukar barang, maka gigi akan lebih putih, benar, asalkan kita ingat menggosok gigi. Jadi secara mendasar itulah alasannya. Itulah sebenarnya logika dasar dari setiap transaksi dagang dan saya kira ada bukti empiris tentang jenis perdagangan yang sangat penting pada periode sesudah Perang Dunia, yang mendasari kebijaksanaan ini, termasuk bagi Negara-negara berkembang.
            Namun, saat ini di Indonesia, apa pun pro dan kontra yang muncul, telah terlambat untuk menolak adanya ACFTA yang merupakan wujud perdagangan bebas dan pasar bebas internasional. Karena ACFTA telah resmi dilaksanakan sejak 1 Januari 2010 lalu. Yang dapat kita lakukan sebagai Bangsa Indonesia saat ini adalah pertama, dari masyarakat harus dapat berkerjasama mengembangkan rasa nasionalisme untuk selalu menggunakan (mengkonsumsi) barang-barang asli buatan Indonesia dan yakinlah bahwa produk-produk Indonesia memiliki kualitas yang tidak kalah baik daripada produk-produk Cina, seperti sepatu-sepatu produksi Cibaduyut dan Tanggul Angin asli buatan anak bangsa yang tidak diragukan kualitasnya, bahkan produk-produk tersebut telah dieksport keluar negeri. Kedua, dari pemerintah. Pemerintah Indonesia tidak perlu ragu dan malu untuk belajar dengan pemerintah Cina yang mampu memberikan akses dan pelayanan terbaik untuk para pengusaha (swasta) sehingga perindustrian di Cina dapat maju pesat dan produk-produk yang diproduksi harganya murah dan terjangkau. Sehingga membanjirnya barang-barang dari Cina menggembirakan bagi para konsumen. Kenapa? Selain menambah pilihan harganya juga murah. Soal Kualitas? Mungkin jadi pertimbangan nomer dua. Seperti yang ada di pasar Mangga Dua, dan Pasar Tanah Abang.
            Yang perlu dipelajari pemerintah Indonesia dari pemerintah Cina yaitu cara pemerintah Cina mendukung pengusaha (pihak swasta) agar industry mereka dapat maju pesat. Menurut Ketua Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia Poppy Dharsono, murahnya produk Cina karena:
Pertama, didukung kebijakan pembiayaan perbankan. Pengusaha di Cina bisa mendapatkan kredit dengan bunga cuma tiga persen (3 %) setahun. Di Indonesia, meski sudah negosiasi, pengusaha menengah besar mendapatkan kredit dengan bunga dua belas persen (12 %). Pengusaha menengah kecil justru lebih besar lima belas persen (15 %). Entah mengapa justru semakin kecil usahanya bukan dibantu malah mendapatbunga kredit lebih besar.
Kedua, Pemerintah Cina berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan industry. Mulai dari pengurusan izin usaha yang diproses dengan mudah dan cepat. Selain itu, infrastruktur penunjang guna memacu eksport, seperti jalan raya, pelabuhan angkut, dan ketersediaan tenaga listrik. Di Cina, hingga 2007, jarak jalan raya untuk lalu lintas yang telah dibuka totalnya mencapai 3,57 juta kilometer. Sedangkan pelabuhan, Cina setidaknya memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 diantaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 megaton. Soal listrik, pada tahun lalu, Cina akan mengoperasikan PLTA terbesar di Dunia yang mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 84,7 triliun Kwh. Sementara di Indonesia, panjang jalan raya pada tahun 2007 hanya sekitar 34.000 kilometer. Dari angka itu, 28 % diantaranya dinyatakan sangat baik dan lebih dari 50 % layak. Selebihnya dalam keadaan rusak. Ditambah lagi operasional jalan, harga BBM yang mahal, listrik yang “byar-pet”, dan urusan perijinan usaha yang harus melalui proses yang rumit dan panjang di badan birokrasi.
Ketiga, dari sisi produktivitas dan Sumber Daya Manusia (SDM), sejak tahun 1990, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga muda terbaiknya untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika lalu pemerintah Cina membujuk para sarjana yang ada di luar negeri tersebut serta professional yang pernah bekerja di pusat-pusat riset dibidang tekhnologi untuk mau pulang kampung dan mereka akan difasilitasi untuk membuka perusahaan baru di Cina seperti insentif pajak, kemudahan perizinan, dan suntikan modal.
            Menurut saya, dengan adanya ACFTA kita tidak perlu khawatir dengan serangan produk-produk Cina yang niscaya akan memundurkan perekonomian kita dan kita tidak perlu menyalahkan siapa pun atas diberlakukannya ACFTA. Kita sebagai masyarakat dan pemerintah hanya perlu berinstropeksi diri dan membuat rencana program-program untuk direalisasikan oleh pemerintah untuk mendukung industry dalam negeri agar dapat maju pesat dan tidak kalah kualitas dan murahnya dibanding produk Cina. Mengapa Introspeksi diri? Karena secara tidak sadar masyarakat kita juga lah yang membuat produk-produk dalam negeri kalah dengan produk Cina, selama ini masyarakat Indonesia merasa bangga bila mengkonsumsi produk import padahal ini adalah jalan bunuh diri untuk mematikan perekonomian Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar